18 September 2024

Habib Lutfhi : Sejauh Mana Kita Membalas Jasa Orangtua?

SHARE

Kalau cara dunia Thoriqoh misalnya Imam Syadzili atau Syaikh Bahaudin Naqsabandiy. Kalau menghadap gurunya mau Silaturohim (sowan) ke Kyai, "Aku" nya diletakan semua. Syaikh Maulana Bahaudin ya begitu  piyayi-piyayi yang begitu tadi yang jadi para Ulama, para ulama luar biasa karena tidak membawa "Aku" nya, jadi tambah ilmunya cepat. Tapi kalau membawa ilmunya "Aku sudah Alim, Aku sudah ini-itu, kalau diajari Kyainya dengan membawa Kitab Absahannya. Nah ini sama ini dengan aku,  ah ini sama ini. Berarti sudah pintar secara langsung. "Tapi kalau ngabsai (memaknai).

Apa kata Yai itu terbuka Futuh, Al Futuha itu terbuka. Nah ketika itu inilah putra-putrinya terkenal Joko Tarub pertama Maulana Maghrobi parangtritis, semua putri-putrinya jikalau menghadap sama bapaknya, "Lir kadio tanpo busana artinya: tidak membawa Aku putranya yai, aku putranya bapaknya... Tidak." merasa menghadapi bapaknya itu bodoh, akhlaknya dipakai, adabnya dipakai, walaupun bapaknya tidak lulusan sarjana tinggi, bapaknya bukan seorang akademisi. Tapi begitulah anak yang luar biasa... Menghadap bapaknya tidak merasa Aku sudah SH ini, aku sudah dokter ini, nah buang jauh-jauh menghadapi fitnah sama orangtua.

Baca Juga : Pembukaan Pendaftaran KPPS Banglarangan Pilkada 2024  

Putra-putri yang sholeh menghadap orangtua pokoknya bodoh, bapaknya lebih banyak lainnya, pengalamannya luar biasa, aku bisa jadi SH, bisa jadi dokter, aku dipondok sampai hafal Al-Quran, sampai hafal Alfiyah, itu apa? Itu jerih payahnya orangtua, pribahasanya "Kepala untuk kaki" demi siapa?. Demi generasinya, inilah perjuanganya orangtua, kelihatannya sepele. Sejauh mana kita membalas jasa orangtua? Orangtua tidak mengharap balasannya. Kewajiban kita terhadap para orangtuanya, walaupun tanpa tanda jasa. Orangtua pagi-pagi sudah mikir sawah dan kebonnya, mikir kalau sawahnya tidak jadi, takut kalau anaknya putus sekolah, entah itu yang diperguruan tinggi atahpun disekolah-sekolah atau pondok pesantren.

Sampai menjelang magrib masih repot menyirami tanamannya dengan penuh harapan untuk real generasi yang akan datang itu perjuangan orangtua. Panjenengan yang jadi anak umpamanya ada rejeki sedikit, makan enak, belum tentu ingat ke orangtua, tapi orangtua bahagiakan anak, mendoakan sungguh-sungguh "Ya Allah nak hidupmu belum seberapa ko sudah ngerti sama orangtua”, mudah-mudahan rejekimu lanjar, luas rejekinya, yang sekolah biar lulus dan sebagainya, gara-gara sebungkus itu mendoakannya menggetar, hatinya menyentuh, besar melebihi gunung, besok kamu akan merasakan.

Jangan kecewakan orangtua yang membesarkanmu, makanya bagi anak-anak kita, adik-adik kita, beruntunglah yang masih punya orangtua, masih memperjuangkan kalian, tapi jangan kecewakan perjuangan kedua orangtua dalam membesarkanmu. Itulah nanti kalau sudah diambil, baru kamu merasakan sia-sia. Nah bagaimana orangtua kita sudah tidak ada? Cara membahagiakan kedua orangtua. Kompak, rukun, itu cara kita membahagiakan kedua orangtua. Didalam kuburnya, kalau melihat kakak beradik kompak, rukun dan sebagainya seperti apa bahagianya?. Ternyata yang diharapkan meleset, seperti apa kecewanya kedua orangtua?

Ini harus menjadi peringatan kita bisa tau, bisa mengerti seperti ini. Itu jalurnya, jalur yang diajarkan para sesepuh-pinisepuh yang terdahulu. Kita mengingat kembali, kita sadar, taatnya kedua orangtua, taat kepada guru, taat pada ulama, taat kepada auliya'. Kita ingat ini perjuangan siapa? Kalau tidak para pewaris-pewaris baginda Nabi Sallahu'Alaihi Wa'Alaih Wasallam. Perjuangan Ulama yang menjadi kepanjangan tangan perjuangan baginda Nabi SAW, dari mulai abad pertama Indonesia itu sudah kemasukan ulama, ada baros. Syaikh Mahmud Bin Abdurohman, cucunya sahabat-sahabat Muad bin Jabar yang meninggal kalau tidak salah tahun 63 H.

Diteruskan oleh para tokoh-tokoh entah itu dari dzurriyatunnabiy SAW dan lainnya dan berapa keturunan-keturunan dari pada ulama-ulama di Indonesia ini yang masih dzurriyatunnabiy SAW, coba, banyak sekali. Bagaimana putra-putri joko tarub itu tadi beliau termasuk level-level sejaman sebelum wali 9, mendekati wali 9, due mantu Jaka Tarub ke 2, itulah mbah-mbahnya kraton surakarta, melahirkan putra-putri perjuangan yang luar biasa, asalnya padepokannya/pesantrennya Jaka Tarub pertama, sak levelnya itu tidak cukup cuma mengajar saja, berdakwah kemana-mana mulai dari Aceh, Pasai, Barus, Palembang, Lampung, Banten, Cirebon, Demak, Gresik, dan seterusnya.

Ulama-ulama mutaqaddimin mencetak beberapa yang disebut santri luar biasa, santri-santri yang mempunyai wawasan, santri-santri yang tidak mengecewakan para gurunya dan orangtuanya. Padahal serba terbatas transportasinya, apalagi komunikasinya, sekarang saja melihat mas banser... Habibnya mau masuk saja sudah halo-halo dulu. (disambut senyuman ribuan banser). Dari santri-santri tersebut melahirkan tokoh-tokoh yang luar biasa yang tidak memalukan sesepuh dan para pejuang (pahlawan)nya. Jadi hari santri itu sudah terwujud sebelumnya yang dirintis dunia pesantren-pesantren oleh para tokoh-tokoh, contohnya di Comal.

Sudah ada Assayyid Tajudin Abdul Qodir bin Abdurohman bin Yahya yang dimakamkan di  Pesantren, yang meninggal tahun 1195 H. Maulana Sayyid Hasan Bin Yahya yang dikenal mbah Hasan Syamsudin ada di Pemalang dan banyak lagi tokoh luar biasa yang ada dipemalang dan comal. Mbah Salamudin, Kyai Safar, Mursyid Thoriqoh luar biasa yang melahirkan tokoh-tokoh santri luar biasa. Dikenal Kyai Muqoyyim Cirebon, Buntet dan beliau itulah diantara yang membangun pertama pesantren Buntet. Alumni Pemalang Comal muridnya Kyai Safar. Muncul mbah Salamudin, Kyai Yusuf, Kyai Yasin, Kyai Nasir, mbah Dimyathi Kedawung yang terkenal Wali minal Auliya.

Jadi cikal bakal termasuk Santri-santrinnya Pemalang, Comal dan Moga tempatnya lapangan berdakwah para sesepuh kita. Makanya kalau kita adakan Ansor Bersholawat, Peringatan Hari Santri Nasional, khususnya Comal-Pemalang, tidak kaget. Sebab sudah dirintis oleh cikal bakal-cikal bakal kita yang merintis luar biasa dengan beraqidah Ahlussunah Wal Jama'ah. Disampaikan oleh Maulana Habib Lutfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya pada acara Ansor Bersholawat di Lapangan Ujunggede-Losari, (Edi Erwanto)

SHARE

Admin :

Website Resmi Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Shodaqoh Nahdlatul Ulama yang dikelola oleh Pengurus NU Care - Lazisnu Desa Banglarangan Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang. Email : lazisnubanglarangan@gmail.com

0 Comments: