Dia bukan seorang pemanggul senjata namun seorang Dokter Ahli Bedah yang sangat dikagumi dan telah banyak meninggalkan ‘sangu’ bagi para dokter-dokter yang ada di Indonesia sejam jaman penjajahan Jepang. Putra R. Wiryo Atmojo, Agen Bank di Purwokerto, Margono Soekaryo lahir di Banyumas tanggal 29 Maret 1897 di desa Kebutuh Sokaraja. Semasa kecil, dia banyak bergaul dengan anak para Onderineming gula. Masa sekolah di UEROPESCHE LO GERE SCHOLL di Purwokerto, yaitu tahun 1904 – 1910, bisa diselesaikan dengan baik.
Bahasa Belanda dan Inggris di kuasai dengan baik. Bahasa Jawanyapun juga sangat halus dan tinggi unggah-ungguhnya. Kemudian melanjutkan pendidikan ke STOVIA, hinga dia diberi kepercayaan untuk menjadi Asisten LEERAAR dibagian Bedah yang dipimpin oleh Dr. LESK di G.H dan N.I.A.S di Surabaya. Geneeskunding Hooge School dan Nederland Indische Artzen School. Tahun 1927, mengikuti pendidikan Kedokteran di Amsterdam dengan memperoleh gelar Artz, hingga diberi kesempatan Bedah bersama Prof. Sauerburch, Prof Van Hebeer, Prof Schiieden serta Prof Volcker. Selama 3 tahun, berkecimpung dibagain bedah di negara Kincir Angin Belanda.
Kembali ke Indonesia sebagai Asisten di G.H. tapi hanya beberapa waktu lamanya, karena dia harus ke Surabaya sebagai Dosen di N.I.A.S. menggantikan Dr. Wieberdink. Tak berapa lama pula harus boyong lagi ke Semarang, diangkat menjadi Dokter Boentaran Marto Atmojo yang menjabat sebagai Direktu di CBZ (Zentraale Burgerliyke Ziekenhuis), Semarang, yang kemudian dirubah menjadi PURUSARA (Pusat Rumah Sakit Rakyat). Dokter Kariadi diangkat menjadi menjadi Kepala Bagian Laboratorium.
Setelah tidak menjabat sebagai direktur, Dokter Boentaran pindah ke Jakarta karena diangakat Mentri Kesehatan RI pertama (1944). Prof. Margono Soekaryo resmi menjabat Direktur PURUSARA dari tahun 1944 – 1947. Untuk selajutnya hijrah ke Jakarta untuk dikukuhkan oleh Departemen Kesehatan RI menjadi Guru Besar dalam bidang Ilmu Bedah Bangsa Indonesai di FKUI, Jakarta tanggal 25 – 1 – 1947. Sebagai seorang guru besar, tidak hanya berkecimpung di dalam negeri saja, namun sering menimba ilmu keluar negeri seperti dalam Seminar, Konggres, Penataran, maupun Simposium-simposium khususnya dalam dunia Kedokteran.
Selain ke Negeri Belanda, pada Conggres International D’anesthesie, di Paris tahun 1951, juga di Zurich dalam Conggres Internatioanl D’alergie. Setiap kembali dari lawatannya keluar negeri, Prof. Margono menularkan ilmu dan pengalamannya pada para mahasiswanya. Disiplin ilmu dan waktunya sangat tinggi. Tahun 1952, berangkat lagi ke Groningen dalam rangkat Post Graduate Course Ini Foundamentals of Thoracie Clinical Science and Surgey. Pembedahan Paru-paru di Indonesia masing sangat jarang dilakukan, maka tahun berikutnya dia berangkat ke Kopenhagen dan Malmo, untuk belajar bedah Paru-paru di Klinik Prof. Wulf dan Prof Hushfeldt.
Tidak hanya dalam pembedahan Paru-paru dia belajar namun juga pembedahan jantung yang dipelajari di Klinik Amerika Serikat tahun 1955. Kembali ke Kopenhagen dalam konggres ke XVI, Societe Internatioan de chirurgie, dan diterima sebagai Membrane Titulaire. “My Experince on Mitralastenose” merupakan pengalamannya yang dituangkan dalam makalah dan sempaat menimbulkan kekaguman di kalangan dokter-dokter dalam World Conggres of Cardiology, yang diadakan di Brussel. Kemudian dia melanjutkan perjalanan ke Moskowo dan Leningrad, Uni Sovyet, meninjau Rumah Sakit Bedah Istimewa.
Bukan hanya ‘memburu’ ilmu dan pengalaman saja, dengan pergi ke luar negeri, namn Margono juga merupakan seorang pecinta alamdan adat kebudayaan suatu bangsa yang dikunjunginya. Seperti pada musim semi di Jepang, keindahan hamparan Sakura sempat membuatnya terkagum-kagum. Pertemuannya dengan Prof. Sakakibara, seorang guru besar pada Women Medical College of Tokyo, dan Ahli Bedah Jantung, juga memberinya pengetahuan tentang adat istiadat bangsa Jepang, serta menemani meninjau kebeberapa rumah sakit.
Tahun 1960, kembali memperoleh gelar Fillow of the American Colleges of Surgeons, saat menghadiri Secon Asia Pasific Conggres of Cardiology, di Melbourne, yang membahas pengalamannya tentang Tumor Percardii, dan juga menjabat ketua Delegasi. Sebagai dokter yang banyak berpengalaan, maka gagasannya tentang Medical Education yang dibahas dengan beberapa orang Dekan dari Amerika Serikat, yaitu tentang kesepakatan bagi dokter muda untuk ikut aktif di klinik-klinik Amerika. Selain itu juga menghadiri Conference of the American Colleges of Surgeons, di Winipeg.
Perjuangannya
Figru pria yang berperawakan tinggi besar, 180 cm, badan tegap selalu berpakaian rapi berdasi, adalah seoarang bapak sekaligus seorang dokter Ahli Bedah yang sangat di kagumi. Keberaniannya sebagai pensuplya obat-obatan secara rahasia kepada para pejuang dan pemuda-pemuda Indonesia dalam perlawanan terhadap penajajan Jepang, merupakan ancaman keselamatan jiwanya.
Dalam memberikan pengobatan, tak pernah seperpun minta bayaran, bahkan kerap memberikan bantuan Cuma-Cuma. Ketika menjabat direktur PURUSARA, banyak anak buahnya menjadi sasaran amukan tentara Dainipon, sehingga dia mengambil kebijaksanaan untuk menyelamatkan para pejuang dalam bidang kesehatan tersebut.
Seperti pada pertempuran 5 hari di Semarang, dia sangat banyak berperan dalam menyelamatkan anak buahnya, dari ancaman pembunuhan tentara Jepang, meskipun banyak diantara mereka yang disandera. Diantara sekian anak buah Prof. Dr. Margono S, adalah seorang Residen bagian bedah, Dr. R Subiyakto yang merupakan saksi dari kekejaman tentara Jepang. Dia selamat karena disembunyikan wanita-wanita Belanda pasiennya, yang menyembunyikan dia balik punggung dan renda-renda gaunnya.
Dokter Kariadi merupakan salah seorang korban dari kebiadaban Dainipon. Tubuhnya ditemukan dengan banyak bekas cacahan Samurai Jepang. Selain suplai obat, Prof. Dr. Margono juga memberi kemudahan bagi pejuang Palang Merah dalam keperluan obat-obatan serta peralatan juga bekal-bekal lain untuk diberikan pada para pejuang. Setelah menjadi Ketua Ikatan Ahli Bedah Indonesia ( IKABI ) serta menjadi anggota kehormatan I dengan mendapat penghargaan Pisau Emas, dia lebih banyak berada di Indonesia.
Usianya semakin lanjut, disamping kesehatannya semakin menurun, bila sakit dia selalu mengobati sendiri dengan obat-obat pilihannya sendiri. Prof. Dr. Margono S. meninggal pada 8 Oktober di Jakarta, dimakamkan di TPU Menteng Pulo. Beberapa tahun kemudian istrinya yang berasal dari Austria, meningal dunia di makamkan di desa Kebutuh Sokaraja, yang akhirnya maka Prof. Dr. Margono juga dipindah ke Kebutuh bersanding dengan makam istrinya. Dr. Roberto Sukaryo, merupakan putra tunggalnya, yang kini berada di Belanjda sebagai Dokter Biologi. Dia banyak dididik dengan adat istiadat Jawa yang kental dan luwes bahasa Jawanya, selain bahasa-bahasa lain yang dia kuasai.
Bahasa Belanda dan Inggris di kuasai dengan baik. Bahasa Jawanyapun juga sangat halus dan tinggi unggah-ungguhnya. Kemudian melanjutkan pendidikan ke STOVIA, hinga dia diberi kepercayaan untuk menjadi Asisten LEERAAR dibagian Bedah yang dipimpin oleh Dr. LESK di G.H dan N.I.A.S di Surabaya. Geneeskunding Hooge School dan Nederland Indische Artzen School. Tahun 1927, mengikuti pendidikan Kedokteran di Amsterdam dengan memperoleh gelar Artz, hingga diberi kesempatan Bedah bersama Prof. Sauerburch, Prof Van Hebeer, Prof Schiieden serta Prof Volcker. Selama 3 tahun, berkecimpung dibagain bedah di negara Kincir Angin Belanda.
Kembali ke Indonesia sebagai Asisten di G.H. tapi hanya beberapa waktu lamanya, karena dia harus ke Surabaya sebagai Dosen di N.I.A.S. menggantikan Dr. Wieberdink. Tak berapa lama pula harus boyong lagi ke Semarang, diangkat menjadi Dokter Boentaran Marto Atmojo yang menjabat sebagai Direktu di CBZ (Zentraale Burgerliyke Ziekenhuis), Semarang, yang kemudian dirubah menjadi PURUSARA (Pusat Rumah Sakit Rakyat). Dokter Kariadi diangkat menjadi menjadi Kepala Bagian Laboratorium.
Setelah tidak menjabat sebagai direktur, Dokter Boentaran pindah ke Jakarta karena diangakat Mentri Kesehatan RI pertama (1944). Prof. Margono Soekaryo resmi menjabat Direktur PURUSARA dari tahun 1944 – 1947. Untuk selajutnya hijrah ke Jakarta untuk dikukuhkan oleh Departemen Kesehatan RI menjadi Guru Besar dalam bidang Ilmu Bedah Bangsa Indonesai di FKUI, Jakarta tanggal 25 – 1 – 1947. Sebagai seorang guru besar, tidak hanya berkecimpung di dalam negeri saja, namun sering menimba ilmu keluar negeri seperti dalam Seminar, Konggres, Penataran, maupun Simposium-simposium khususnya dalam dunia Kedokteran.
Selain ke Negeri Belanda, pada Conggres International D’anesthesie, di Paris tahun 1951, juga di Zurich dalam Conggres Internatioanl D’alergie. Setiap kembali dari lawatannya keluar negeri, Prof. Margono menularkan ilmu dan pengalamannya pada para mahasiswanya. Disiplin ilmu dan waktunya sangat tinggi. Tahun 1952, berangkat lagi ke Groningen dalam rangkat Post Graduate Course Ini Foundamentals of Thoracie Clinical Science and Surgey. Pembedahan Paru-paru di Indonesia masing sangat jarang dilakukan, maka tahun berikutnya dia berangkat ke Kopenhagen dan Malmo, untuk belajar bedah Paru-paru di Klinik Prof. Wulf dan Prof Hushfeldt.
Tidak hanya dalam pembedahan Paru-paru dia belajar namun juga pembedahan jantung yang dipelajari di Klinik Amerika Serikat tahun 1955. Kembali ke Kopenhagen dalam konggres ke XVI, Societe Internatioan de chirurgie, dan diterima sebagai Membrane Titulaire. “My Experince on Mitralastenose” merupakan pengalamannya yang dituangkan dalam makalah dan sempaat menimbulkan kekaguman di kalangan dokter-dokter dalam World Conggres of Cardiology, yang diadakan di Brussel. Kemudian dia melanjutkan perjalanan ke Moskowo dan Leningrad, Uni Sovyet, meninjau Rumah Sakit Bedah Istimewa.
Bukan hanya ‘memburu’ ilmu dan pengalaman saja, dengan pergi ke luar negeri, namn Margono juga merupakan seorang pecinta alamdan adat kebudayaan suatu bangsa yang dikunjunginya. Seperti pada musim semi di Jepang, keindahan hamparan Sakura sempat membuatnya terkagum-kagum. Pertemuannya dengan Prof. Sakakibara, seorang guru besar pada Women Medical College of Tokyo, dan Ahli Bedah Jantung, juga memberinya pengetahuan tentang adat istiadat bangsa Jepang, serta menemani meninjau kebeberapa rumah sakit.
Tahun 1960, kembali memperoleh gelar Fillow of the American Colleges of Surgeons, saat menghadiri Secon Asia Pasific Conggres of Cardiology, di Melbourne, yang membahas pengalamannya tentang Tumor Percardii, dan juga menjabat ketua Delegasi. Sebagai dokter yang banyak berpengalaan, maka gagasannya tentang Medical Education yang dibahas dengan beberapa orang Dekan dari Amerika Serikat, yaitu tentang kesepakatan bagi dokter muda untuk ikut aktif di klinik-klinik Amerika. Selain itu juga menghadiri Conference of the American Colleges of Surgeons, di Winipeg.
Perjuangannya
Figru pria yang berperawakan tinggi besar, 180 cm, badan tegap selalu berpakaian rapi berdasi, adalah seoarang bapak sekaligus seorang dokter Ahli Bedah yang sangat di kagumi. Keberaniannya sebagai pensuplya obat-obatan secara rahasia kepada para pejuang dan pemuda-pemuda Indonesia dalam perlawanan terhadap penajajan Jepang, merupakan ancaman keselamatan jiwanya.
Dalam memberikan pengobatan, tak pernah seperpun minta bayaran, bahkan kerap memberikan bantuan Cuma-Cuma. Ketika menjabat direktur PURUSARA, banyak anak buahnya menjadi sasaran amukan tentara Dainipon, sehingga dia mengambil kebijaksanaan untuk menyelamatkan para pejuang dalam bidang kesehatan tersebut.
Seperti pada pertempuran 5 hari di Semarang, dia sangat banyak berperan dalam menyelamatkan anak buahnya, dari ancaman pembunuhan tentara Jepang, meskipun banyak diantara mereka yang disandera. Diantara sekian anak buah Prof. Dr. Margono S, adalah seorang Residen bagian bedah, Dr. R Subiyakto yang merupakan saksi dari kekejaman tentara Jepang. Dia selamat karena disembunyikan wanita-wanita Belanda pasiennya, yang menyembunyikan dia balik punggung dan renda-renda gaunnya.
Dokter Kariadi merupakan salah seorang korban dari kebiadaban Dainipon. Tubuhnya ditemukan dengan banyak bekas cacahan Samurai Jepang. Selain suplai obat, Prof. Dr. Margono juga memberi kemudahan bagi pejuang Palang Merah dalam keperluan obat-obatan serta peralatan juga bekal-bekal lain untuk diberikan pada para pejuang. Setelah menjadi Ketua Ikatan Ahli Bedah Indonesia ( IKABI ) serta menjadi anggota kehormatan I dengan mendapat penghargaan Pisau Emas, dia lebih banyak berada di Indonesia.
Usianya semakin lanjut, disamping kesehatannya semakin menurun, bila sakit dia selalu mengobati sendiri dengan obat-obat pilihannya sendiri. Prof. Dr. Margono S. meninggal pada 8 Oktober di Jakarta, dimakamkan di TPU Menteng Pulo. Beberapa tahun kemudian istrinya yang berasal dari Austria, meningal dunia di makamkan di desa Kebutuh Sokaraja, yang akhirnya maka Prof. Dr. Margono juga dipindah ke Kebutuh bersanding dengan makam istrinya. Dr. Roberto Sukaryo, merupakan putra tunggalnya, yang kini berada di Belanjda sebagai Dokter Biologi. Dia banyak dididik dengan adat istiadat Jawa yang kental dan luwes bahasa Jawanya, selain bahasa-bahasa lain yang dia kuasai.
Atas ketauladanan serta jasa-jasanya maka untuk mengabdikan dan mengenangnya, nama Prof. Dr. Margono Seokarjo dengan SK DPRD Kabupaten Dati II Banyumas tanggal 3 September 1981 No. 3/5/V/DPRD/1981, diusulkan sebagai nama RSUD Tingkat I Propinsi Jawa Tengah, di Purwokerto,yang berlokasi di Berkoh dan menuju ke Tipe B, dengan pelayananan Kesehatan yang lebih lengkap.
Sumber : Majalah Krida. Edisi 205
mantul sahabat kunjungi ansormapelgading.blogspot.com
BalasHapus