Pada tahun 1994 NU berduka karena Ketua Umumnya sedang berduka. Dimana tokoh pendiri Muslimat NU, dan sesepuh yang paling disegani tutup usia. Beliau adalah Ibunda dari KH Abdurrahman Wahid yakni Nyai Solechah, isteri mendiang KHA Wahid Hasyim. Tutup usia pada hari Jumat, 29 Juli, sekita pukul 23.15, bertepatan dengan 21 Safar 1415 wafat pada usia 73 tahun. Nyai Solechah pada waktu itu sedang dirawat di RCSM Jakarta. Menderita komplikasi jantung dan diabetes, setelah dirawat selama 15 hari.
Gema takbir Laa ilaha ilallah mengiringi peti jenazah Ibunda KH Abdurahman Wahid atau yang biasa kita kenal Gus Dur. Jenazah diusung dari rumah di kediaman Jalan Taman Amir Hamzah 18 Jakarta menuju mobil jenazah menuju Bandara Soekarno Hatta. Suasana yang khidmat dalam prosesi membawa peti jenazah menyentuh hati ratusan pelayat yang memenuhi rumah dan jalan disekitarnya. KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tampak mengusap air matanya. Sedangkan putra yang lain tersedu-sedu dalam pelukan seorang kerabat.
Bagi para ibu-ibu yang melayat juga mencucurkan air mata ketika mobil jenazah perlahan-lahan meninggalkan halaman rumah yang dipenuhi karangan bunga duka. Menteri Agama kala itu Tarmizi Taher menyampaikan bahwa “Bangsa Indonesia dan umat Islam kehilangan besar seorang wanita pejuang, yang telah berhasil mempertemukan antara Nahdlatul Ulama dengan Ukhuwah Islamiyah. Sejak sabtu subuh pelayat terus berdatangan mengiringi kepergian Ny. Solecha Wahi Hasyim. Pelaksaan shalat jenazah sendiri dilakukan sampai 15 kali karena banyaknya pelayat yang ingin mendoakan.
Tampak pelayat yang hadir kala itu Menteri UPW Mien Sugandhi, mantan Menag Munawir Sadzali, Ketua Umum DPP PPP Buya Ismail Metareum, Ketua PP Muhamadiyah Amien Rais, Nurcholish Madjid, Ny Rahmi Hatta, dan sejumlah tokoh Islam maupun para cendekiawan. Gus Dur pada kesempatan tersebut mengucapkan terimakasih atas fasilitas dan bantuan yang diberikan Departemen Agama untuk pemberangkatan jenazah dan perhatian selama dirawat di rumah sakit. “Juga kepada para sesepuh, Pak Idham Chalid, Pak Munawir, Pak Ali Yafie, yang telah menunjukkan solidaritas yang kuat kepada almarhumah sebagai teman sejawat dalam mengabdi kepada kepentingan bangsa”.
Pengurus Besar Nahdhatul Ulama yang diwakili oleh Chalid Mawardi mengungkapkan, umat Nahdiyin kehilangan seseorang yang telah ikut serta menuliskan tinda sejarah NU. “NU mengucapkan syukur dan terimakasih atas jasa-jasa dan partisipasi almarhumah, yang merupakan salah seorang pendiri dan perintis Muslimat NU. Bersama-sama Muslimat NU beliau memasuki saat-saat sulit dan keluar dari kesulitan itu. Beliau telah memilih karir hidup dalam perjuangan,” ujarnya. Pembacaan doa untuk menutup acara pelepasan jenazah di pimpin oleh KH Idham Chalid.
Pukul 14.10 jenazah tiba di bandara Juanda Surabaya. Dengan iring-iringan panjang jenazah dibawa ke Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar, Jombang, dimana Denanyar sebagai tempat kelahiran almarhumah. Ketika sampai di Denanyar sudah semakin senja, maka shalat mayit dilakukan hanya sekali. KHMA Sahal Mahfud menjadi imam shalat dan ditutup dengan tahlil oleh Rais Syuriah PWNU Jawa Timur KH Imron Hamzah.
Jenazah lalu dibawa ke Tebuireng. Di Masjid pesantren KHM Hasyim Asy’ari dan dilakukan shalat jenazah hanya satu kali. Jombang kala itu menjadi lautan manusia. Maklum saja, yang meninggal adalah tokoh dari pusat kelahiran Nahdlatul Ulama. Jenazah dipikul untuk dibawa ke pasarean dikawasan tepi barat pesantren. Gus Dur sendiri nampak tidak kuasa menahan air matanya dan menangis tersedu-sedu. Demikian pula dengan Ny Nuriyah Abdurrahman Wahid, dari kursi roda ia menangis mengantar mertuanya.
Pembaca talqin adalah KHMA Sahal Mahfudz yang juda adik ipar almarhumah. Makam Ny Wahid sendiri persis berdampingan dengan makam suaminya, KH Wahid Hasyim, sesuai dengan wasiat almarhumah. Berderet dengan makam Hadratus Syekh KHM Hasyim Asy’ari, pendiri NU, dan Ny Hasyim Asy’ari. Tokoh sufi KH Adlan Ali juga dimakamkan disitu. Hadir saat pemakaman selain dari keluarga seperti : KH Cholil Bisri, KH Musthofa Bisri, ketua MUI Jatim KH Micbach, Rektor Univertisitas Muhammadiyah Malang HA Malik Fadjar, segenap pengurus PC dan PWNU se Jawa Timur.
Ny Sholechah memang orang besar bukan sekedar suaminya. Beliau adalah putri sulung dari KH Bisri Syamsuri, mantan Rais Am PBNU yang termasuk pendiri NU. Dipersunting KHA Wahid Hasyim, satu dari 9 orang pendiri Republik Indonesia, pada usia masing-masing 15 dan 24 tahun. Upacara pernikahan sendiri berlangsung pada 10 Syawal 1356 H (1938 M). Keduanya menetap di Tebuireng, disebelah utara pondok hingga 1942. Rumah itu kini ditempati santri pondok Huffaz Al-Quran yang diasuh KH Yusuf Masyhar. Tahun 1942 saat itu masa pendudukan Jepang, mengharuskan keduanya pindah ke Jakarta karena tugas-tugas yang harus diemban.
Tugas yang diemban sebagai Chou Sangiin dan Penasihat Kantor Urusan Agama, dikenal dengan nama Shumubu dibaah pimpinan KH Abdul Kahar Muzakir dan sebagai penasihat KH Hasyim Asy’ari. Ny. Wahid meninggalkan lima orang anak. Yang pertama KH Abdurrahman Addakhil -Gus Dur (lahir, 3 Juli ada yang menyebut 4 Agustus 1939 di Denanyar Jombang), Ny. Aisyah Hamid Baidlawi (lahir di Tebuireng, 4 Juni 1941), Ir Sholahuddin Al-Ayyubi (lahir di Denanyar, 11 September 1942), dr. Umar Wahid (lahir di Tebuireng, 30 Januari 1944), Ny. Chodijah alias Ny. Lilik (lahir di Tebuireng, 6 Maret 1948), dan yang terakhir Hasyim Wahid (lahir di Jakarta 30 Oktober 1953).
Ny Wahid sendiri seorang pejuang konsisten, sabar, jujur, dan pengayom. Ia merupakan salah seorang pendiri Muslimat NU (YKMNU) dan Lembaga Kesejahteraan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU). Meskipun kala itu usia sudah nampak sepuh, Ny Wahid selalu hadir dalam berbagai acara yang diadakan oleh NU dan badan otonomnya. Saat melakukan takziyah almarhum Imron Rosyadi di Bandung Jawa Barat Ny Wahid mengalami kecelakaan di jalan Tol Cikampek bersama Ibu Nuriyah, dan Ibu Aisyah Hamid Baidlowi.
Dalam karir politik Ny Wahid saat mengikut Partai NU hingga menjadi PPP. Sehingga pernah menjadi anggota DPR RI dari tahun 1955 sampai 1987. Meskipun sudah tua dan tidak menjadi anggota DPR lagi, Ny Wahid masih konsisten terhadap PPP. Buktinya, ketika para politisi NU membahas calon ketua PPP di Kalibata saat itu, beliau nampak hadir.
Dalam hal berorganisasi, Bu Wahid termasuk pejuang kawakan. Ia berjuang di organisasi wanita dimulai sejak zaman revolusi. Menurut Ny Wahid, peranan organisasi wanita Islam telah mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Dan perkembangan organisasi wanita Islam sangat menggembirakan. Memang berbeda dengan dulu karena situasi. Dulu organisasi wanita Islam sangat berperan dalam meningkatkan martabat wanita agar ia mengetahui hak dan kewajibannya sebagai seorang warga negara yang baik, dan sebagai seorang muslimat.
Gema takbir Laa ilaha ilallah mengiringi peti jenazah Ibunda KH Abdurahman Wahid atau yang biasa kita kenal Gus Dur. Jenazah diusung dari rumah di kediaman Jalan Taman Amir Hamzah 18 Jakarta menuju mobil jenazah menuju Bandara Soekarno Hatta. Suasana yang khidmat dalam prosesi membawa peti jenazah menyentuh hati ratusan pelayat yang memenuhi rumah dan jalan disekitarnya. KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tampak mengusap air matanya. Sedangkan putra yang lain tersedu-sedu dalam pelukan seorang kerabat.
Bagi para ibu-ibu yang melayat juga mencucurkan air mata ketika mobil jenazah perlahan-lahan meninggalkan halaman rumah yang dipenuhi karangan bunga duka. Menteri Agama kala itu Tarmizi Taher menyampaikan bahwa “Bangsa Indonesia dan umat Islam kehilangan besar seorang wanita pejuang, yang telah berhasil mempertemukan antara Nahdlatul Ulama dengan Ukhuwah Islamiyah. Sejak sabtu subuh pelayat terus berdatangan mengiringi kepergian Ny. Solecha Wahi Hasyim. Pelaksaan shalat jenazah sendiri dilakukan sampai 15 kali karena banyaknya pelayat yang ingin mendoakan.
Tampak pelayat yang hadir kala itu Menteri UPW Mien Sugandhi, mantan Menag Munawir Sadzali, Ketua Umum DPP PPP Buya Ismail Metareum, Ketua PP Muhamadiyah Amien Rais, Nurcholish Madjid, Ny Rahmi Hatta, dan sejumlah tokoh Islam maupun para cendekiawan. Gus Dur pada kesempatan tersebut mengucapkan terimakasih atas fasilitas dan bantuan yang diberikan Departemen Agama untuk pemberangkatan jenazah dan perhatian selama dirawat di rumah sakit. “Juga kepada para sesepuh, Pak Idham Chalid, Pak Munawir, Pak Ali Yafie, yang telah menunjukkan solidaritas yang kuat kepada almarhumah sebagai teman sejawat dalam mengabdi kepada kepentingan bangsa”.
Pengurus Besar Nahdhatul Ulama yang diwakili oleh Chalid Mawardi mengungkapkan, umat Nahdiyin kehilangan seseorang yang telah ikut serta menuliskan tinda sejarah NU. “NU mengucapkan syukur dan terimakasih atas jasa-jasa dan partisipasi almarhumah, yang merupakan salah seorang pendiri dan perintis Muslimat NU. Bersama-sama Muslimat NU beliau memasuki saat-saat sulit dan keluar dari kesulitan itu. Beliau telah memilih karir hidup dalam perjuangan,” ujarnya. Pembacaan doa untuk menutup acara pelepasan jenazah di pimpin oleh KH Idham Chalid.
Pukul 14.10 jenazah tiba di bandara Juanda Surabaya. Dengan iring-iringan panjang jenazah dibawa ke Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar, Jombang, dimana Denanyar sebagai tempat kelahiran almarhumah. Ketika sampai di Denanyar sudah semakin senja, maka shalat mayit dilakukan hanya sekali. KHMA Sahal Mahfud menjadi imam shalat dan ditutup dengan tahlil oleh Rais Syuriah PWNU Jawa Timur KH Imron Hamzah.
Jenazah lalu dibawa ke Tebuireng. Di Masjid pesantren KHM Hasyim Asy’ari dan dilakukan shalat jenazah hanya satu kali. Jombang kala itu menjadi lautan manusia. Maklum saja, yang meninggal adalah tokoh dari pusat kelahiran Nahdlatul Ulama. Jenazah dipikul untuk dibawa ke pasarean dikawasan tepi barat pesantren. Gus Dur sendiri nampak tidak kuasa menahan air matanya dan menangis tersedu-sedu. Demikian pula dengan Ny Nuriyah Abdurrahman Wahid, dari kursi roda ia menangis mengantar mertuanya.
Pembaca talqin adalah KHMA Sahal Mahfudz yang juda adik ipar almarhumah. Makam Ny Wahid sendiri persis berdampingan dengan makam suaminya, KH Wahid Hasyim, sesuai dengan wasiat almarhumah. Berderet dengan makam Hadratus Syekh KHM Hasyim Asy’ari, pendiri NU, dan Ny Hasyim Asy’ari. Tokoh sufi KH Adlan Ali juga dimakamkan disitu. Hadir saat pemakaman selain dari keluarga seperti : KH Cholil Bisri, KH Musthofa Bisri, ketua MUI Jatim KH Micbach, Rektor Univertisitas Muhammadiyah Malang HA Malik Fadjar, segenap pengurus PC dan PWNU se Jawa Timur.
Ny Sholechah memang orang besar bukan sekedar suaminya. Beliau adalah putri sulung dari KH Bisri Syamsuri, mantan Rais Am PBNU yang termasuk pendiri NU. Dipersunting KHA Wahid Hasyim, satu dari 9 orang pendiri Republik Indonesia, pada usia masing-masing 15 dan 24 tahun. Upacara pernikahan sendiri berlangsung pada 10 Syawal 1356 H (1938 M). Keduanya menetap di Tebuireng, disebelah utara pondok hingga 1942. Rumah itu kini ditempati santri pondok Huffaz Al-Quran yang diasuh KH Yusuf Masyhar. Tahun 1942 saat itu masa pendudukan Jepang, mengharuskan keduanya pindah ke Jakarta karena tugas-tugas yang harus diemban.
Tugas yang diemban sebagai Chou Sangiin dan Penasihat Kantor Urusan Agama, dikenal dengan nama Shumubu dibaah pimpinan KH Abdul Kahar Muzakir dan sebagai penasihat KH Hasyim Asy’ari. Ny. Wahid meninggalkan lima orang anak. Yang pertama KH Abdurrahman Addakhil -Gus Dur (lahir, 3 Juli ada yang menyebut 4 Agustus 1939 di Denanyar Jombang), Ny. Aisyah Hamid Baidlawi (lahir di Tebuireng, 4 Juni 1941), Ir Sholahuddin Al-Ayyubi (lahir di Denanyar, 11 September 1942), dr. Umar Wahid (lahir di Tebuireng, 30 Januari 1944), Ny. Chodijah alias Ny. Lilik (lahir di Tebuireng, 6 Maret 1948), dan yang terakhir Hasyim Wahid (lahir di Jakarta 30 Oktober 1953).
Ny Wahid sendiri seorang pejuang konsisten, sabar, jujur, dan pengayom. Ia merupakan salah seorang pendiri Muslimat NU (YKMNU) dan Lembaga Kesejahteraan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU). Meskipun kala itu usia sudah nampak sepuh, Ny Wahid selalu hadir dalam berbagai acara yang diadakan oleh NU dan badan otonomnya. Saat melakukan takziyah almarhum Imron Rosyadi di Bandung Jawa Barat Ny Wahid mengalami kecelakaan di jalan Tol Cikampek bersama Ibu Nuriyah, dan Ibu Aisyah Hamid Baidlowi.
Dalam karir politik Ny Wahid saat mengikut Partai NU hingga menjadi PPP. Sehingga pernah menjadi anggota DPR RI dari tahun 1955 sampai 1987. Meskipun sudah tua dan tidak menjadi anggota DPR lagi, Ny Wahid masih konsisten terhadap PPP. Buktinya, ketika para politisi NU membahas calon ketua PPP di Kalibata saat itu, beliau nampak hadir.
Dalam hal berorganisasi, Bu Wahid termasuk pejuang kawakan. Ia berjuang di organisasi wanita dimulai sejak zaman revolusi. Menurut Ny Wahid, peranan organisasi wanita Islam telah mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Dan perkembangan organisasi wanita Islam sangat menggembirakan. Memang berbeda dengan dulu karena situasi. Dulu organisasi wanita Islam sangat berperan dalam meningkatkan martabat wanita agar ia mengetahui hak dan kewajibannya sebagai seorang warga negara yang baik, dan sebagai seorang muslimat.
Sumber : Majalah Aula. Agustus 1994
0 Comments: